Kamis, 05 Desember 2013

BUTTERFLY

“Butterfly”
 


PROLOG
Kupu-kupu.
Apa kau pernah mendengar kata itu? Mungkin kau sering menemukannya di padang bunga yang luas, atau kau melihatnya terbang mengitari bunga-bunga di halaman belakang rumahmu. Intinya, ia identik dengan bunga. Makhluk indah yang diciptakan Tuhan ini, adalah makhluk yang mengembalikan semangat  jiwaku…
 
            Flya Anderson berjalan sambil mengendap-endap di tengah kegelapan. Tangannya yang kurus meraba-raba dinding batu yang dingin dan lembap. Ia berjalan tanpa alas di kakinya sehingga ia dapat merasakan betapa dinginnya lantai ruangan itu. Ia berjalan dengan sangat hati-hati, menjaga setiap langkahnya agar tidak menimbulkan suara.
 
            “Hhhh…” desah Flya. Bibirnya yang mungil mulai menggigil kedinginan. Dengan buru-buru ia merapatkan kedua tangannya, lalu bersandar ke sebuah pintu kayu yang mulai lapuk dimakan usia. DUK DUK DUK!! Tiba-tiba pintu lapuk itu bergetar dan dengan sangat ketakutan Flya menyingkir menjauh. Tangan yang menggedor pintu itu adalah tangan ayah tirinya, orang yang sama yang telah mengurungnya di gudang yang sudah tidak terpakai ini. Orang yang sangat kejam yang merampas jiwa Flya---orang yang tidak akan pernah membiarkan Flya hidup normal seperti anak-anak lainnya.
 
            “Flya!” ujar ayah tirinya. Flya membungkam mulutnya dan bersembunyi di balik kardus-kardus besar yang tidak terpakai lagi. Perlahan-lahan ia mulai terisak dan menangis sesenggukan. “Flya! Kau mendengarku?!” raung ayahnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Iya…” Flya menjawab lemah dan tangisnya mulai mereda. “Ada apa, ayah?”
 
            Ayah tirinya lalu membuka pintu lapuk itu. Di pintu itu, berdiri seorang laki-laki tua yang rambutnya dipenuhi uban, dengan badan kurus mengering seperti rangka yang hanya dibungkus kulit hitam-legam. Matanya cekung dan kesannya mengerikan---ia sama sekali tidak mirip dengan Flya, anak tirinya.
 
            “Ini. Makanlah. Kau akan merasa lebih baik…” ia menyodorkan sepiring bubur dingin dan segelas air putih sambil menyeringai. “Ini makananmu untuk tiga hari ke depan, kau tahu kan? Kita tidak punya apa-apa lagi…” lalu ayahnya berbalik dan beranjak pergi. “Tunggu!” Flya bangkit dari tempat persembunyiannya dan mencegah ayahnya pergi. “Jika ayah mengizinkan, aku bisa mencari uang seperti teman-temanku yang lainnya.” 
 
            “Tidak! Kau tidak bisa! Kau tidak punya teman! Kau tidak boleh berteman dengan mereka!” dengan tegas ayahnya menolak permintaan Flya. “Kau tidak boleh kemana-mana!” lalu ia menutup dan mengunci pintu lapuk itu dan pergi lagi. Flya diam menunggu keajaiban terjadi---seperti ayahnya akan kembali dan akan mengizinkannya keluar dari tempat memuakkan ini. Namun yang terdengar diluar sana adalah suara langkah-langkah kaki ayahnya yang terdengar menjauh.

* * *
  
BAB 1
Tangisan Sedih di Sudut Jalan

            “Dulu ibumu menemukanmu di sudut jalan sana…” bibi Neshi menunjuk kearah sudut jalan di dekat kios tempat ia bekerja. “Kau menangis dengan sediiih sekali. Untunglah ibumu yang berhati malaikat itu mendengar tangisanmu dan membawamu pergi dari situ. Ia mengangkatmu menjadi anaknya.” jelasnya. Aku mengangguk-angguk mengerti. Sering sekali---semenjak kematian ibu, bibi Neshi menceritakan masa laluku disini---di bawah pohon apel di taman kota. Alasannya karena dari taman ini, sudut kios tempat ibu kandungku dulu membuangku terlihat dengan jelas. Bibi Neshi tidak akan pernah puas bercerita sampai aku menganguk-angguk mengerti.
 
            Bibi Neshi adalah satu-satunya sahabat baik ibuku. Ibuku sudah menganggap bibi Neshi sebagai kakaknya sendiri karena bibi Neshi lebih tua dua tahun darinya. Dua bulan lalu, ibuku meninggal di dekat kios itu---kios tempatnya dan bibi Neshi bekerja. Kios tempat ia menemukanku dulu dengan tangisan sedihku yang hanya terdengar olehnya. Ia tewas ditabrak truk besar yang kata bibi Neshi mengangkut berton-ton minyak. Yang terbayang di benakku saat itu adalah ibu meninggal dalam keadaan yang mengerikan.
 
            “Hey, Nak.” Ujar bibi Neshi membuyarkan lamunanku. “Semua baik-baik saja?” sambungnya. “Oh, ya. Jangan khawatir bibi Neshi. Aku… baik-baik saja,” ujarku enteng. Bibi Neshi tersenyum ramah dan menyodorkan beberapa potong roti padaku. “Kau pasti lapar…” tebaknya. Aku tertawa kecil dan mengangguk mengiyakan. Lalu dengan lahap memakan roti pemberian bibi Neshi.
 
            “Oh tidak! Aku terlambat dua menit…” bibi Neshi beranjak dari bangku taman dan berlari meninggalkanku. Tetapi ia segera kembali dan dengan napas yang terengah-engah memberiku beberapa lembar uangnya. “Ambillah…” bibi Neshi memasukkan uang itu ke saku bajuku. Aku berusaha menolaknya dengan menggeleng-geleng pelan. Namun bibi Neshi hanya tersenyum dan memelukku. “Hanya itu yang dapat kuberikan padamu. Anggaplah aku ibu penggantimu. Aku tahu ayah tirimu yang jahat itu sangat jarang memberimu makan…” bibi Neshi memotong kata-katanya. “Ups, aku menjelek-jelekkannya lagi. Sampai jumpa, Flya! Kalau kau membutuhkanku, datanglah ke kios itu…” bibi Neshi berlari secepat kakinya bisa membawanya. Aku hanya terkikik geli melihat tingkahnya dan kembali memakan potongan rotiku.
 
            Setelah selesai dengan rotiku, aku kembali melamun dan memikirkan ibu. Sebenarnya… Siapa ibuku? Bibi Neshi bilang, mungkin ibuku yang sebenarnya tidak sanggup membesarkanku. Makanya ia membuangku dan melupakanku. Sedangkan ibuku, ibu yang memungutku dan merawatku sampai berumur dua belas tahun ini, sudah tiada. Ia meninggal dua bulan yang lalu. Selama ini, hanya dia satu-satunya wanita yang kuanggap ibuku. Walaupun ia hanya ibu angkatku, tetapi dialah yang mengenalkan dunia ini padaku.
 
            Ah, sudahlah. Kepalaku masih terlalu muda untuk memikirkan beban hidup ini. Yang terpenting sekarang adalah aku menjalani kehidupanku walaupun tidak ada lagi ibu disampingku. Ayah sudah menungguku dirumah dan aku harus memberinya uang yang diberi bibi Neshi tadi. Uang ini satu-satunya hal yang paling ayah tunggu-tunggu dariku. Sekarang aku harus pulang. Aku berjalan meninggalkan taman sambil bersenandung kecil dengan senang, aku bersyukur pada Tuhan karena masih diberi kesempatan untuk mencicipi kehidupan yang penuh rasa ini. Sampai akhirnya musibah yang tidak kuduga itu datang dan merusak hidupku.
Bersambung